Senin, 18 Desember 2017

Kisah Mush’ab bin Umair : ‘Pemuda Terbaik di Zamannya’

shahabat rasulullahDarunnajah.com Nama Mush’ab bin Umair mungkin tidak terlalu populer di perbincangkan seperti shahabat shahabat Rasulullah saw lainnya, seperti halnya shahabat Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, Salman Al Farisi, Bilal bin Rabah hingga Khulafaur Rasyidin. Meski demikian tidak dipungkiri Mush’ab bin Umair adalah salah satu shahabat Rasulullah saw yang mengagumkan dan menyandang gelar ‘Pemuda terbaik di Zamannya’ yang Rasulullah saw pernah bersabda tentangnya.

“Aku tidak pernah melihat seorangpun di Mekah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim)

Siapakah sebenarnya Mush’ab bin Umair itu?

Mush’ab bin Umair adalah seorang pemuda dari keturuan bangsa Quraisy, Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin kilab al Abdari al Qurasyi. Ia dilahirkan 14 tahun setelah Rasulullah saw lahir tepatnya pada tahun 585 M.

Ia adalah seorang pemuda yang sangat beruntung, lahir dari keturunan bangsawan Quraisy yang memiliki limpahan harta, disayangi oleh orang tuanya dan sangat dihormati oleh semua orang. Hingga Imam Ibnu Atsir menggambarkan tentang keadaan Mush’ab bin Umair, “Mush’ab adalah seorang pemuda yang tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya adalah seorang wanita yang kaya, sandalnya adalah sandal al hadrami, pakaiannya merupakan pakaian yang terbaik dan dia adalah pemuda Mekah yang peling harum sehingga semerbak wangi parfumnya meninggalkan jejak di sepanjang jalan yang ia lewatinya”. (al Jabiri, 2014: 19)

Sebagai pemuda yang memiliki segalanya tidak membuatnya lupa diri. Memiliki orang tua yang sangat sayang yang mau serta mampu memberikan apapun yang diinginkan dengan sekejab. Namun tidak membuat dirinya terlena dan terbawa suasana, dimana dia hidup di masa jahiliah yang lingkungannya menyembah berhala, khamar sebagai minumannya, judi adalah aktifitasnya, pesta dan perzinaan merupakan hal yang biasa. Inilah yang harus di contoh oleh pemuda zaman sekarang, Mush’ab bin Umair yang tidak goyah oleh lingkungan, Mush’ab bin Umair yang punya prinsip dalam hidupnya.

Pada awal Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu untuk berdakwah, beliau melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi mulai dari keluarganya, shahabat, kerabat dan orang-orang yang dikenalnya untuk mengenalkan agama Tauhid yang mulia, hingga akhirnya masuklah agama islam yang diawali oleh istri tercintanya Khodijah, yang disusul sepupunya Ali bin Ali Thalib dan anak angkat beliau Zaid bin Haritsah serta shahabat shahabat lainnya yang kemudian di namakan ‘Assabiqunal Awwalun’ yang artinya orang-orang yang pertama kali masuk Islam pada masa Rasulullah saw berdakwah secara rahasia/sembunyi. Dan Mush’ab bin Umair salah satu didalamnya.

Mush’ab bin Umair adalah pemuda yang pandai dan bijak dalam memilih pilihan untuk kehidupannya. Meski hidup dilingkungan jahiliyah namun ia tidak terbawa dalam rusaknya akhlak yang mewarnai kesehariannya. Dan akhirnya Allah yang Maha Kuasa memberikan cahaya di hati nuraninya dengan sampainya ajaran agama islam yang mulia yang di bawa oleh pemuda bergelar Al Amin.

Meski dilakukan secara sembunyi – sembunyi dakwah Rasulullah saw akhirnya sampai ke telinga Mush’ab bin Umair, setelah mengetahui ajaran yang dibawa oleh rasulullah saw, Mush’ab yang selalu teliti dalam mengambil keputusan memantapkan hatinya untuk memeluk agama Islam, ia pun mendatangi Nabi Muhammad saw di rumah al Arqam bin Abi al Arqam di bukit Shafa pusat dakwah Rasulullah saw pada saat itu untuk menyatakan keimanannya.

Seperti shahabat lainnya yang memeluk agama Islam Mush’ab bin Umair juga menyembunyikan keislamannya dihadapan semua orang terutama kedua orang tuanya yang merupakan orang terpandang di kalangan bangsa Quraisy. Meski sembunyi – sembunyi ia tidak pernah alpa dalam menghadiri majlis Rasulullah saw untuk mendalami pengetahuan tentang agama islam. Karena ketekunan dan kepandaian yang dimilikinya, Mush’ab bin Umair menjadi salah satu shahabat yang memiliki pengetahuan tentang Islam yang paling dalam, oleh karena itu ia diutus Rasulullah saw berdakwah ke Madinah untuk pertama kalinya yang kemudian disebut sebagai Duta Islam pertama.

Allah berfirman dalam surah Al Ankabut ayat 2 dan 3 yang berbunyi:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Artinya, “ Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? (2) Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta”. (3) (QS. Al Ankabut: 2-3)

Hari dimulainya ujian bagi Mush’ab bin Umair telah tiba,  ketika ia sedang beribadah kepada Allah swt, Utsmani bin Thalhah tanpa sengaja melihatnya yang kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada orang tua Mash’ab. Mulai saat itulah ujian dari Allah swt datang kepadanya, ujian yang akan menentukan siapa sebenarnya Mash’ab? Ujian yang akan membuatnya di kagumi oleh Rasulullah dan para shahabat shahabanya, ujian yang menjadikan ia sebagai pemuda yang patut untuk di tauladani oleh pemuda sepanjang masa.

Begitu orang tua Mash’ab mengetahui ia meninggalkan agama nenek moyang nya dan memeluk agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, ibundanya marah besar ia mengancam Mash’ab tidak akan memberinya makan bahkan akan menyiksanya bila tidak meninggalkan agama islam dan kembali ke agama nenek moyangnya. Sebagai seorang pemuda yang cerdas dan memiliki prinsip teguh dalam hidupnya, jiwa Islam yang sudah mendarah daging dalam tubuh Mash’ab menjadikannya tetap kukuh dengan pilihannya dan siap menerima apapun yang akan diberikan kepadanya.

Berbagai siksaan dari orang tuanya sendiri ia terima dengan teguh tanpa melawan sebagai bentuk ketaatan kepda orang yang sudah membesarkannya. Makanan lezat tidak lagi ia jumpai, pakaian yang indah tak lagi menempel di badan kekarnya, Mash’ab yang dulunya di puji oleh semua orang kini hampir tidak ada yang bisa mengenalinya. Namun, itu bukanlah hal yang besar baginya, meski tidak lagi mendapat makanan yang bisa masuk ke perutnya, yang berubah menjadi pukulan mendarat ditubuhnya mulusnya, walau berbagai siksaan ia terima tidak sedikitpun terbayang dalam benaknya untuk mengkhianati dua kalimat syahadat yang pernah diucapkannya di hadapan Rasululllah saw.

Banyak shahabat Rasulullah yang kagum dengannya, hingga mengungkapkannya dalam bentuk syair syair yang indah, begitu juga dengan Rasulullah saw yang takjub sehingga beliau bersabda tentangnya, “Sungguh aku melihat Mash’ab tatkala bersama kedua orang tuanya di Mekah. Keduanya memuliakannya dan memberinya berbagai macam fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda pemuda Quraisy yang semisal dengannya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai Ridha Allah dan menolong Rasul-Nya…”. (HR. Hakim)

Mash’ab bin Umair sebagai duta islam yang pertama memiliki peranan penting dalam menyebarkan agama Islam terutama saat di utus Rasulullah saw untuk berdakwah ke Yatsrib (nama Madinah saat itu). Dengan kedalamannya akan Al Qur’an dan As Sunnah, lihai dalam cara penyampaiannya, disertai kecerdasan dalam berargumentasi dan ketenangan dalam bertutur membuat semua orang menerima dakwahnya.

Ketangkasannya dalam berdakwah terlihat saat ia berhadapan dengan pemuka suatu kaum di Yatsrib yang bernama Saad bin Muadz. Dengan ungkapan yang santun ia berkata kepada Saad, “Bagaimana kiranya kalau anda duduk dan mendengar (apa yang akan saya sampaikan). Jika engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya engkau membencinya, maka aku akan pergi”.  Dengan senang hati Saad menjawab, “Ya, yang demikian itu lebih baik”. Diawali dengan bacaan Al Qur’an nan syahdu, Mash’ab menjelaskan tentang Islam kepada Saad.

Dengan penyampaian yang sempurna, membuat Saad pun terkesan dan tertarik kepada islam, iapun berkata kepada Mash’ab, “Apa yang harus kami perbuat jika kami hendak memeluk agama Islam?” Mash’ab menjawab dengan santun, “Mandilah, bersihkan pakaianmu, ucapkanlah dua kalimat syahadat, kemudian shalatlah dua rakaat”. Saad pun mengikuti apa yang dikatakan Mash’ab.

Setelah Saad bin Muadz memeluk agama Islam, ia pun segera mengumpulkan seluruh kaumnya, dengan nada yang tegas ia berkata, “wahai Bani Adbu Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi kalian?”. Serentak kaumnya menjawab, “Engkau adalah pemuka kami, orang yang paling bagus pandangannya dan paling lurus tabiatnya”. Saat itulah dengan kewibawaannya ia menyerukan suara yang lantang kepada kaumnya, “Haram bagi laki laki dan perempuan di antara kalian berbicara denganku sampai ia beriman kepada Allah swt dan Rasul Nya”.

Dengan ketegasan yang ditunjukan oleh Saad bin Muadz, serentaklah seluruh kaumnya mengucapkan dua kalimat syahadat dan menyatakan masuk Islam disaksikan juga oleh Mush’ab bin Umair.  Dengan pertolongan Allah swt, Mush’ab bin Umair diberikan kemudahan dalam menyampaikan agama Islam di bumi Yatsrib yang kemudian Rasulullah saw dan shahabatnya hijrah dari Mekah ke Yatsrib, setelah Rasulullah saw di Yatsrib kota tersebut dikenal dengan nama Madinah an Nabawiyah.

Selain aktif dalam berdakwah menyiarkan agama Islam, Mush’ab bin Umair juga turut serta dalam beberapa peperangan yang dilakukan oleh umat Islam dan Rasulullah saw. Ia selalu mendapat tempat istimewa disetiap pertempuran yang diikuitinya yakni sebagai pemegang bendera Islam. Dan perang terakhir yang beliau ikuti adalah perang Uhud dimana beliau menjadi salah satu mujahid dalam pertempuran yang berlangsung di bukit Uhud pada tahun 625 M tersebut.

Seorang shahabat Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir hayat sang mujahid Mush’ab bin Umair dengan indah. Dengan ketangkasannya dalam berperang, dengan gagah berani Mush’ab melaju ke medan perang dengan menggenggam bendera islam ditangan kanannya dan sebuah pedang disebelah tangan kirinya. Dari kejauhan ada pasuka musyrik yang mengincar Mush’ab, dia mengira yang memegang bendera Islam adalah Nabi Muhammad saw, dengan keganasannya ia langsung menyerang Mush’ab, ia menebas tangan kanannya yang memegang bendera dan terputuslah tangan kanan Mush’ab bin Umair namun dengan sigap tangan kirinya mengambil alih bendera islam yang akan terjatuh.

Melihat bendera Islam masih berkibar, pasukan kafir Quraisy yang bernama Ibnu Qumai ah al Laitsi kembali menyerang Mush’ab bin Umair, kali ini tangan kirinya yang menjadi incarannya. Ditebaslah tangan kiri Duta islam pertama Islam tersebut hingga terputus terpisah dari jasadnya, meski kedua tangannya telah terputus namun semangat juang Mush’ab bin Umair masih besar, karena begitu dalam rasa cintanya kepada Islam membuatnya ingin memberikan seluruh hidupnya untuk Islam, didekaplah bendera perang Islam tersebut agar masih tetap berkibar di arena pertempuran, hingga akhirnya anak panah merobohkan tubuh, bendera sekaligus nyawanya dari atas kuda perangnya.

Akhir dari perjuangan pemuda yang telah menggadaikan kenikmatan dunia dengan keindahan yang tidak akan pernah sirna yakni surga. Setelah perang usai, Rasulullah saw mengumpulkan para syuhada untuk dikuburkan dan ketika melihat jasad Mush’ab bin Umair beliau mendo’akan kebaikan untuknya.

Sebagai pemuda muslim sudah sepantasnya kita mengambil contoh dari perjuangan dan pengorbanan Mush’ab bin Umair untuk Islam, pemuda yang memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu, mengamalkan setiap yang dipelajarinya dan mendakwahkannya kepada ummat karena Allah swt. Pemuda yang memiliki pandangan ke masa depan, ia rela meninggalkan kenikmatan dunia yang fana untuk menggapai kemuliaan yang abadi di akhirat Nya. Wallahu ‘Alam

(red/Aa)

http://darunnajah.com/wp-content/uploads/2017/12/sahabat-rasul.jpg

0 komentar:

Posting Komentar