Kamis, 22 Maret 2018

Surat Cinta Dari Santri

Jaros telah berbunyi.Suaranya berdentang dentang.Mungkin tak semerdu menara Big Ben.juga tak semendebarkan suara pluit wasit sepakbola berkepala gundul Italia,Pierluigi Collina,saat memimpin pertandingan final piala dunia.Jaros kita ustadz lebih menggetarkan.Karena inilah tanda gerak dan diam yang sebenarnya bagi kamu semua para santri santrimu yang telah jauh meninggalkan hangatnya kampung halaman.Untuk selalu bergegas dengan riang mengambil apa saja di pondokmu hingga datangnya malam kota Serang dibawah kaki gunung karang yang tak pernah pelit membagi inspirasinya.

Dalam hangat sarung tak bermerek,Ustadz Fajar Suryono datang.Beliau berbicara,kami harus tetap istiqomah belajar tentang makna kehidupan.”Tak usah takut mati,bila takut jangan hidup.Dan jika takut hidup,lebih baik mati saja.”lanjut beliau.Kami ingin bertanya,namun jaros berdentang kembali.Masya Allah,waktu sholat subuh telah tiba.

Kami pun berlari mengejar dinginnya air mi’doah.Kemudian tertunduk dalam doa.Di masjid ataupun di lorong-lorong kamar kami meratap.”beri kami ilmu mu ya Allah,ya karim.Setelah sekian lama kami menembus riuhnya delapan penjuru mata angin,setelah sekian waktu kami berlayar mencari luasnya ilmu pengetahuan.”

Setengah mengantuk ada yang membisik,orang yang belum pernah merasakan kemajuan tak akan tahu hakekat kemunduran.Terdengar suara langkah kaki mendekat,telah datang di ujung subuh itu suara para Asatidiz mengiangkan kata kata sakti..Ingin kami menafsirkanya,tapi jaros kembali mengingatkan untuk segera menyantap sarapan pagi buatan bu nyai berlauk tempe kering,kacang panjang,sambal dan kriuk kerupuk.

Kenyang,lantas kami pun berbaris rapi menuju kelas bercat hiaju terang.Dari jauh,kismul amn sedang menghukum seorang kawan.matrud?Wow,kami memang harus belajar tertib.Agar pribadi berbudi tinggi,berbadan sehat,berpengetahuan luas,serta mampu berpikir bebas tanpa meminggirkan prinsip seorang muslim yang mukmin.Seperti kakak kami yang kini mampu menjelajah kota-kota kaya.Atau seperti pendahulu kami yang zuhud,yang bersedia mewakfkan dirinya di desa yang jauh dari pusat kota seperti KH.Abdul Manaf Mukhayyar yang rela meninggalkan keramaian hidup.Hidup berlampu teplok dan mengajar di tikar pandan,seperti yang dilakukan oleh menantunya KH.Mahrus Amin.

Sering kami baca dan lihat kalimat milik para Ulama dan Kyai terdahulu:sebesar keinsyafanmu sebesar itu pula keuntunganmu.Maknanya dalam tapi kami tak perlu lagi untuk menangkap maknanya.Karena sudah 7 tahun kami berlayar bersama suara jaros yang menggerakan.Terima kasih Ustadz atas semua pengorbananmu.

Ket:jaros=bel/lonceng,Mi’doah=tempat wudhu,Kismul Amn=Keamanan Pondok,Matrud=diusir dari pondok.

Writer:M.Rafi Aliefanto

http://darunnajah.com/wp-content/uploads/2018/03/Lonceng-500x282-500x282.jpg

0 komentar:

Posting Komentar